PERGERAKAN NASIONAL
INDISCHE PARTIJ
Pada saat menginjak abad 20 ,sistem kolonial di Indonesia banyak sekali
mengalami perkembangan baik di bidang politik, ekonomi, dan sosial
budaya. Hal ini juga secara langsung mempengaruhi bangsa Indonesia.
Sejak adanya politik etis pada awal tahun 1900 yang dicetuskan oleh
Conrad Theodore Van Deventer, banyak sekali lahir golongan elit
terpelajar di Indonesia. Politik etis merupakan bentuk politik balas
budi pemerintah Belanda terhadap bangsa Indonesia yang telah
dipolitisasi. Berkat politik etis, bangsa Indonesia dapat memperoleh
pendidikan / edukasi sehingga dicapai kesadaran emansipasif
bangsa.Karena banyaknya kaum terpelajar yang ada ,maka seiring waktu
lahirlah organisasi-organisasi yang bergerak di berbagai bidang, baik
politik maupun bidang lainnya yang mengarah kepada kemerdekaan negara
Indonesia. Hal-hal tersebut adalah waktu di mana perjuangan mencapai
Indonesia merdeka dimulai. Pergerakan nasionalisme Indonesia dipengaruhi
oleh adanya kaum terpelajar yang telah banyak bergaul dengan bangsa
luar sehingga membuka mata mereka tentang kesadaran akan perasaan
senasib sepenanggungan sebagai satu bangsa yang memiliki hak untuk
menentukan arah hidupnya sendiri (self-determination).Budi Utomo adalah
organisasi pertama yang berdiri di Indonesia. Namun, keanggotaan dalam
Budi Utomo masihlah terbatas dan belum ada tanda-tanda perjuangan
kemerdekaan.
Pada tanggal 25 Desember 1912, berdirilah sebuah partai politik pertama
di Indonesia. Partai ini adalah partai yang secara terang-terangan
memiliki tujuan untuk mencapai kemerdekaan bagi Indonesia. Ini adalah
salah satu perwujudan dari adanya rasa nasionalisme anak-anak bangsa
untuk menuntun ke arah kemerdekaan dan juga menggerakan bangsa agar
sadar untuk bersatu demi kemerdekaan. Partai inilah yang mengawali
politik anak bangsa meski salah satu pendirinya adalah seorang Indo.
Partai ini adalah “Indische Partij”. Indische Partij adalah partai
politik pertama di Hindia Belanda. Didirikan oleh tiga serangkai, yaitu
Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat. Melalui
partai ini,Ernest Douwes Dekker mendesak pemerintah untuk mengubah garis
kebijaksanaan yang ditempuh. Organisasi ini mempunyai cita-cita untuk
menyatukan semua golongan yang ada di Indonesia, baik golongan asli
maupun golongan Indo, Cina, Arab dan sebagainya. Mereka akan dipadukan
dalam kesatuan bangsa dengan semangat nasionalisme Indonesia.
Cita-cita Indische Partij banyak disebarluaskan melalui surat kabar De
Express. Di samping itu juga disusun program kerja sebagai berikut :
a. Menyerapkan cita-cita nasional Hindia (Indonesia).
b. Memberantas kesombongan social dalam pergaulan baik di bidang pemerintahan maupun kemasyarakatan.
c. Memberantas usaha-usaha yang membangkitkan kebencian antara agama yang satu dengan yang lain.
d. Memperbesar pengaruh pro-Hindia di lapangan pemerintahan.
e. Berusaha untuk mendapatkan persamaan hak bagi semua orang Hindia.
f. Dalam hal pengajaran, kegunaannya harus ditujukan untuk kepentingan
ekonomi Hindia dan memperkuat mereka yang ekonominya lemah.
Politik "Etis" yang dilaksanakan Belanda sejak awal abad ke-20
dihantamnya. Seperti diketahui, garis "politik etis" itu tidak lagi
memperlakukan Hindia-Belanda sebagai daerah eksploitasi, sapi perahan
untuk kemakmuran negeri Belanda, tetapi dimaksudkan untuk meningkatkan
kehidupan masyarakat pribumi. Fokus politik ini adalah edukasi-
irigasi-transmigrasi-desentralisasi. Namun, Ernest Douwes Dekker
mengemukakan, bukan begitu caranya untuk menjaga agar Belanda tak
kehilangan tanah jajahannya. Menurutnya, yang diperlukan adalah
pemerintahan sendiri, self-rule, untuk penduduk Indiƫ sendiri, karena
merekalah yang lebih tahu dan mengerti kepentingannya sendiri. Di sini
untuk pertama kalinya disuarakan gagasan untuk memerintah diri sendiri.
Berbeda dengan perlawanan-perlawanan terhadap Belanda sebelumnya yang
ditujukan kepada restauration, mengembalikan Hindia Belanda kepada
kekuasaan tradisional, sekarang mulai dikumandangkan keinginan untuk
mandiri, mengurus dan menentukan nasib sendiri.
Tulisan Ernest Douwes Dekker semakin radikal dan dalam dekade kedua abad
ke-20 masyarakat tanah jajahan diajak untuk bergerak-Kameraden, stookt
de vuren! (Kawan-kawan, nyalakanlah api!). Gagasan-gagasan demikian yang
muncul dalam pers Hindia-Belanda mendapat perhatian bukan hanya di
kalangan kaum Indo, tetapi juga di kalangan pribumi yang sudah mendapat
pendidikan Barat dan menguasai bahasa Belanda, di antaranya Dr Tjipto
Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat. Bersama kedua tokoh ini
Ernest Douwes Dekker mengadakan aksi antikolonial sehingga mereka sering
dianggap sebagai tiga serangkai. Dalam hubungan ini tiga serangkai
memelopori gerakan politik dengan resmi membentuk Indische Partij atau
Partai Hindia.
Asas perjuangan Indiche Partij adalah nasionalisme dan kooperatif.
Semboyannya berbunyi : Indie los van Holland (Hindia bebas dari Holland)
dan Indie voor Inders (Hindia untuk orang Hindia). Keanggotaanya
bersifat terbuka bagi semua orang tanpa pandang bulu, dengan tujuan: -
membangkitkan rasa cinta tanah air Indonesia - membangun kerja sama
untuk kemajuan tanah air - mempersiapkan tanah air bagi kehidupan bangsa
yang merdeka Propaganda dilakukan di mana-mana bahkan ke seluruh Jawa
baik secara lisan maupun tertulis. Propaganda Indische Partij ini
disambut dengan antusias oleh orang-orang yang anti penjajah sehingga
partai ini sudah memiliki 30 cabang di seluruh Jawa. Para pemimpin
Indische Partij berusaha mendaftarkan status badan hukum dari Indische
Partij kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda melalui sidang parlemen
tetapi pada tanggal 11 Maret 1913, penolakan dikeluarkan oleh Gubernur
Jendral Idenburg (wakil pemerintah Belanda di negara jajahan). Alasan
penolakkanya adalah karena organisasi ini dianggap oleh pemerintah
kolonial pada saat itu dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan
bergerak dalam sebuah kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial
Belanda.
Dalam tindak-tanduknya ,ketiga tokoh pendiri partai ini sudah
diperhatikan oleh pemerintah Belanda. Tindakan-tindakan ini mulai nyata
pada 21 Maret -23 Maret 1913 , ketika Belanda akan merayakan upacara
peringatan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari Perancis (Napoleon) dengan
menggunakan pungutan dana dari Hindia Belanda. Melalui majalah De
Express, Suwardi Suryaningrat menulis sebuah artikel yang mengkritik
pemerintah Belanda dengan judul "Als ik eens Nederlander was" (Jika Aku
Seorang Belanda). Berikut kutipannya “………Sekiranya aku seorang Belanda,
aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang
kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran
itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si
inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Pikiran untuk
menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang
kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu!
Kalau aku seorang Belanda, apa yang menyinggung perasaanku dan
kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander
diharuskan ikut mengkongsi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada
kepentingan sedikitpun .
Seandainya aku seorang Belanda, aku protes peringatan yang akan diadakan
itu.Aku akan peringatkan kawan-kawan penjajah ,bahwa sesungguhnya
sangat berbahaya pada saat itu mengadakan perayaan peringatan
kemerdekaan. Aku akan peringatkan semua bangsa Belanda jangan
menyinggung peradaban bangsa Indonesia yang baru bangun dan menjadi
berani.Sungguh aku akan protes sekeras-kerasnya……..”Akibat dari tindakan
yang radikal melalui artikel tersebut ,pemerintah Belanda dibuat resah
dan pada tanggal 31 Maret 1913 , tiga serangkai diasingkan (diinternir).
Douwes Dekker dibuang ke Timor (Kupang).Tjipto Mangunkusumo dibuang ke
Banda sedangkan Suwardi Suryaningrat dibuang ke Bangka. Tidak lama
kemudian mereka dieksternir (diasingkan) ke Belanda, namun pada tahun
1914 ,Cipto Mangunkusumo diizinkan kembali karena masalah kesehatan.
Pada tahun 1917 Douwes Dekker dibebaskan dari hukuman dan Suwardi
Suryaningrat pada tahun 1918 ,lalu kembali ke Indonesia.Bersamaan dengan
waktu pengasingan 3 serangkai dimulai, pemerintah Hindia Belanda telah
membubarkan Indische Partij. Partai ini sudah dilarang karena sikapnya
yang radikal untuk menuntut kemerdekaan ,namun perjuangan masih terus
berlanjut.
Indische Partij berganti nama menjadi partai Insulinde dan pada tahun
1919 berubah lagi menjadi National Indische Partij (NIP). NIP tidak
pernah mempunyai pengaruh yang besar di kalangan rakyat dan akhirnya
hanya merupakan kumpulan orang-orang terpelajar. Pengalaman di
pengasingan atau dibuang tidak membuat tokoh-tokoh 3 serangkai jera
dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Keistimewaan Indische Partij adalah usianya yang pendek, tetapi anggaran
dasarnya dijadikan program politik pertama di Indonesia. Organisasi ini
didirikan oleh Dr. Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (alias
Setyabudi) di Bandung pada tanggal 25 Desember 1912 dan merupakan
organisasi campuran Indo dengan bumi putera. Douwes Dekker ingin
melanjutkan Indische Bond, organisasi campuran Asia dan Eropa yang
berdiri sejak tahun 1898. Indische Partij, sebagai organisasi politik
semakin bertambah kuat setelah bekerja sama dengan dr. Tjipto
Mangoenkoesoemo dan Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketiga
tokoh ini kemudian dikenal dengan
sebutan “Tiga Serangkai”.
E.F.E. Douwes Dekker berpendapat bahwa hanya melalui kesatuan aksi
melawan kolonial, bangsa Indonesia dapat mengubah sistem yang berlaku,
juga keadilan bagi sesama suku bangsa merupakan keharusan dalam
pemerintahan. Pada waktu itu terdapat antitesis antara penjajah dan
terjajah, penguasa dan yang dikuasai. E.F.E. Douwes Dekker berpendapat,
setiap gerakan politik haruslah menjadikan kemerdekaan yang merupakan
tujuan akhir. Pendapatnya itu disalurkan melalui majalah Het Tijdschrift
dan surat kabar De Espres.
Sementara itu, E.F.E. Douwes Dekker banyak berhubungan dengan para
pelajar STOVIA di Jakarta. Karena ia menjadi redaktur Bataviaasch
Nieuwsblad maka tidak mengherankan kalau ia banyak berkenalan dan
memberi kesempatan kepada penulis-penulis muda dalam surat kabar.
Menurut Suwardi Suryaningrat, meskipun pendiri Indische Partij adalah
orang Indo, tetapi tidak mengenal supremasi Indo atas bumi putera,
bahkan ia menghendaki hilangnya golongan Indo dengan meleburkan diri
dalam masyarakat bumi putera.
Perjuangan untuk menentang perbedaan sosio-politik inilah yang menjadi
dasar tindakan Suwardi Suryaningrat selanjutnya dengan mendirikan Taman
Siswa (1922) dan menentang Undang-Undang Sekolah Liar (1933). Di sisi
lain, dr. Tjipto Mangoenkoesoemo meneruskan perjuangannya yang radikal,
walaupun ia dibuang bersama E.F.E. Douwes Dekker ke Belanda tahun 1913.
Pada tahun 1926 ia dibuang lagi ke Banda dan sebelumnya dipenjarakan dua
tahun di Bandung. Sebelum Jepang masuk ia dibebaskan dari penjajah dan
pada tahun 1943 ia meninggal dunia.
Tujuan didirikannya Taman Siswa adalah untuk mendidik dan menggembleng
golongan muda serta menanamkan rasa cinta tanah air dan semangat
antipenjajahan. Taman Siswa berperan dalam menumbuhkan rasa nasionalisme
bangsa Indonesia. Meskipun menggunakan sistem pendidikan modern
Belanda, tetapi Taman Siswa tidak mengambil kepribadian Belanda. Dengan
demikian, anak didiknya tidak kehilangan jati diri sebagai bangsa
Indonesia. Para guru Taman Siswa berasal dari para aktivis pergerakan
nasional. Taman Siswa memiliki tiga semboyan dalam melaksanakan proses
pendidikan. Semboyan tersebut berasal dari bahasa Jawa dan mempunyai
arti filosofi tentang peranan seseorang. Berikut ini ketiga semboyan
tersebut..
Walaupun usia Indische Partij sangat pendek, tetapi semangat jiwa dari
dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan Suwardi Suryaningrat sangat besar
berpengaruh bagi para pemimpin pergerakan pada waktu itu, terlebih lagi
Indische Partij menunjukan garis politiknya secara jelas dan tegas serta
menginginkan agar rakyat Indonesia dapat menjadi satu kesatuan penduduk
yang multirasial. Tujuan dari partai ini benar-benar revolusioner
karena mau mendobrak kenyataan politik rasial yang dilakukan oleh
pemerintah kolonial.
Tindakan-tindakan ini terlihat nyata ketika pada tahun 1913, peemrintah
Belanda akan mengadakan upacara peringatan 100 tahun bebasnya negeri
Belanda dari jajahan Perancis (Napoleon), dengan cara memungut dana dari
rakyat Indonesia. Perayaan ini direncanakan diperingati juga oleh
pemerintah Hindia Belanda. Adalah suatu yang kurang pas di mana suatu
negara penjajah melakukan upacara peringatan pembebasan dari penjajah
pada suatu bangsa yang dia sebagai penjajahnya.
Propaganda
INDISCHE PARTIJ
Setelah berrdirinya partai itu pada 6 September 1912, langkah pertama
yang ditindakkan para pengurusnya adalah mengadakan perjalanan keliling
Jawa untuk berpropaganda. Perjalanan itu dimulai dari Bandung oleh
E.F.E. Douwes Dekker, Brunsveld van Hulten dan Van der Poel. Tujuan
pertamanya ialah Yogyakarta, untuk diteruskan ke Surakarta, Madiun,
Surabaya, Semarang, Tegal, Pekalongan dan Cirebon serta kota-kota lain
di Jawa Barat.
Dalam perjalanan yang berlangsung antara 15 September s.d. 3 Oktober
tersebut tim pengurus mengadakan rapat di setiap kota yang disinggahi.
Segera nyata bahwa sambutan masyarakat dan para pemimpin pergerakan masa
itu sangat antusias, dibuktikan dengan hadirnya banyak pemimpin
pergerakan dalam rapat dan banyaknya perhimpunan yang mengirimkan
wakilnya. Tercatat perhimpunan yang menyokong berdirinya IP adalah Budi
Utomo, Insulinde, Sarekat Islam, Kartini Klub, Mangunhardjo, dan
Perhimpunan Tionghoa Hweekwan.
Para tokoh perhimpunan pun banyak pula yang terjun langsung membantu IP,
di antaranya dr. Tjipto Mangunkusumo, R.M. Suwardi Suryaningrat, dan
Abdul Haris dari Bandung sebagai ketua cabang sarekat Islam di kota itu.
Lebih dari itu terdapat pula beberapa tokoh yang sangat berpengaruh di
masyarakat: R. Pramu di Semarang; R. Soleiman di Boyolali; R.
Jayadiningrat (saudara Bupati Serang) di Serang; Redaktur surat kabar
“Jawa Tengah”, harian “Pengaman”, dan “Tjahaja Timoer” di Malang dengan
pimpinan R. Djojo Sudiro; dan G. Topel, seorang anggota pengurus besar
Insulinde.
Sesuai dengan nama perkumpulan itu sendiri, IP menawarkan kesempatan
menjadi anggota partai kepada masyarakat luas, yaitu kepada siapa pun
yang merasa memiliki tanah air Hindia, yang merasa lahir, hidup, dan
akan berpulang di negeri ini. Barang siapa tak dapat masuk perhimpunan
Budi Utomo (karena kebetulan ia bukan orang Jawa), maka ia dapat
diterima menjadi anggota IP. Demikian pula bagi mereka yang non-muslim
(yang tak mungkin menjadi anggota Sarekat Islam).
Adalah masih dalam rangka propaganda juga ketika perhimpunan itu
berusaha menarik para anggota Insulinde untuk menjadi anggota IP. Pada
saat itu Insulinde telah menjadi organisasi yang kecil karena banyak
anggotanya mengundurkan diri, terutama yang “Indo-Belanda totok”. Yang
terakhir ini keluar dari keanggotaan karena tak mau bergabung dengan
Bumi Putera. Rapat gabungan antara E.F.E. Douwes Dekker, Brunsveld van
Hulten dan Van der Poel dengan para pengurus Insulinde pada 17 September
1912 menghasilkan peleburan Insulinde ke dalam IP. Sayangnya – meski
antara kedua perkumpulan itu memiliki kesamaan azas - Mr. Jeekel tak
dapat menerima keputusan para sejawatnya. Sebagai ketua akhirnya ia
mengundurkan diri dan keluar dari keanggotaan Insulinde, untuk
selanjutnya membentuk perkumpulan lain bernama “Het Nederlandsch
Indische” yang pada akhirnya samasekali tidak berkembang.
Tetapi keberhasilan IP meraih DIB tidaklah sesukses meraih Insulinde.
Rapat gabungan antara kedua perkumpulan itu pada 28 Oktober 1912
tidaklah menghasilkan apa-apa – bahkan dinilai gagal – karena memang
sejak awal azas dan tujuan keduanya berbeda.
Tetapi kegagalan dengan DIB bukanlah sesuatu yang berarti bagi IP.
Propaganda demi propaganda yang mereka lakukan membuat jumlah anggota
terus bertambah dari hari ke hari. Corong perkumpulan mereka – Koran De
Express dan Het Tijdschrijft yang diketuai Douwes Dekker – digunakan
secara optimal untuk menarik calon anggota lebih banyak.
Sedikit melihat ke belakang, De Express didirikan Douwes Dekker tanggal 1
Maret 1912 setelah ia meninggalkan Bataviaasch Newsblad pimpinan
Jaalberg yang terlalu mementingkan golongan Indo. Sejak berdirinya
harian itu Douwes Dekker menyediakan ruangan khusus dalam koran itu
untuk propaganda Budi Utomo. Ia menggunakannya sebagai corong bagi
cita-cita politiknya. Dan suaranya pun kian bergema manakala ia memimpin
pula majalah bulanan Het Tijdschrift.
Teristimewa sejak bulan Maret itu para pembaca telah disuguhi
tulisan-tulisan dan opini yang isinya seolah merupakan ancang-ancang
pimpinannya untuk mendirikan suatu partai yang bersifat nasionalis.
Tulisan-tulisan dan opini itu pada dasarnya isinya berkisar pada tiga
hal yang saling berhubungan:
1. Pelaksanaan suatu program Hindia untuk setiap gerakan politik yang sehat dengan tujuan menghapuskan kolonialisme;
2. Menyadarkan golongan Indo dan penduduk bumi putera bahwa masa depan
mereka terancam oleh bahaya yang sama, yaitu eksploitasi kolonial;
3. Alat untuk melaksanakan hal-hal tersebut (1 dan 2) ialah dengan membentuk suatu perhimpunan yang bersifat nasionalisme.
Maka berdirinya IP pada 6 September 1912 seolah merupakan
pengejawantahan dari apa yang telah pimpinannya rencanakan lewat
opini-opini di kedua mass media itu, dan tampak kini seakan IP merupakan
kekuatan nyata untuk melaksanakan segala program yang telah diutarakan.
Tak heranlah jika berdirinya IP akhirnya memancing dan mengundang
perhatian masyarakat luas, karena sejak berbulan-bulan sebelumnya mereka
telah mengira bahwa organisasi semacam ini akan muncul dari orang yang
selama ini mereka kenal sebagai cucu dari kakak tertua Ernest Douwes
Dekker (Multatuli, pengarang Max Havelaar) yang keberpihakannya pada
kaum bumi putera tak diragukan lagi.
Kini, setelah IP eksist di tengah kanca politik, organisasi itu pun
secara bebas dan terbuka menyiarkan propaganda partai, disisipi pula
dengan tulisan dan opini-opini yang membangkitkan rasa cinta tanah air
kepada semua Hindia Putera, dan ajakan menggalang kerjasama yang erat
antara mereka demi kemerdekaan yang tengah diperjuangkan. Tak urung pula
di dalam harian dan bulanan itu para pemimpinnya membeberkan cita-cita
politiknya, bercampur dengan kecaman-kecaman terhadap poltik pemerintah.
Dr. Tjipto dan Suwardi Suryaningrat
Seluruh apa yang disuarakan IP lewat berbagai macam cara itu agaknya
bersesuaian benar dengan jiwa dr. Tjipto Mangunkusumo yang sejak 1909
meninggalkan Budi Utomo akibat perbedaan paham dengan dr. Radjiman
Wedjodipuro. Dokter yang berwatak keras dan tak pernah kenal takut itu
telah lama menahan diri untuk berpolitik tegas, dan meng-inginkan adanya
perhimpunan seperti IP. Agaknya dr. Tjipto tidak sendiri. Ia mendapat
dukungan moril dari sahabatnya, Suwardi Suryaningrat, bangsawan dari
Pura Paku-alaman, Yogyakarta, yang berwatak keras dan tegas namun amat
lembut dalam penam-pilan.
Kedua orang yang dikenal sangat revolusioner itu sangat berkenan di hati
Douwes Dekker sehingga menyambut keduanya ketika menyatakan diri
berniat menggabung dalam IP. Sehinggalah sejak Desember 1912 ketiganya
menjadi pengurus harian De Express, dan koran itu pun berubah haluan
menjadi nasionalistis-revolusioner sesuai dengan watak pengendalinya
terhadap persoalan Hindia.
Sumber : http://www.luthfieel-rahma.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar