Berkembangnya nasionalime di Indonesia diwujudkan dalam bentuk
organisasi Pergerakan Nasional. Adapun macam-macam organisasi Pergerakan
Nasional adalah sebagai berikut.
1. Budi Utomo (BU)
Organisasi Budi Utomo (BU) didirikan pada tanggal 20 Mei 1908 oleh para
mahasiswa STOVIA di Jakarta, dengan Sutomo sebagai ketuanya.
Terbentuknya organisasi tersebut atas ide dr. Wahidin Sudirohusodo yang
sebelumnya telah berkeliling Jawa untuk menawarkan idenya yakni
membentuk Studiefounds. Gagasan Studiesfounds yang
bertujuan untuk menghimpun dana guna memberikan beasiswa bagi pelajar
yang berprestasi namun tidak mampu melanjutkan studinya tidak terwujud
dan muncullah BU.
Dr. Wahidin Sudirohusodo |
Dr. Sutomo |
Tujuan BU adalah memajukan pengajaran dan kebudayaan. Tujuan tersebut ingin dicapai dengan usaha-usaha sebagai berikut.
a. Memajukan pengajaran.
b. Memajukan pertanian, peternakan, dan perdagangan.
c. Memajukan teknik dan industri.
d. Menghidupkan kembali kebudayaan.
Dilihat dari tujuannya, BU bukan merupakan organisasi politik melainkan organisasi pelajar dengan pelajar STOVIA sebagai intinya. Sampai menjelang kongresnya yang pertama di Yogyakarta telah berdiri tujuh cabang BU, yakni di Jakarta, Bogor, Bandung, Magelang, Yogyakarta, Surabaya, dan Ponorogo.
Untuk mengonsolidasi diri (dengan dihadiri 7 cabangnya), BU mengadakan kongres pertama yang diselenggarakan di Yogyakarta pada tanggal 3-5 Oktober 1908. Kongres memutuskan hal-hal sebagai berikut.
a. BU tidak ikut dalam mengadakan kegiatan politik.
b. Kegiatan BU terutama ditujukan pada bidang pendidikan dan kebudayaan.
c. Ruang gerak BU terbatas pada daerah Jawa dan Madura.
d. Memilih R.T. Tirtokusumo, Bupati Karanganyar sebagai ketua.
e. Yogyakarta ditetapkan sebagai pusat organisasi.
Sampai dengan akhir tahun 1909, telah berdiri 40 cabang BU dengan jumlah anggota mencapai 10.000 orang. Akan tetapi dengan adanya kongres tersebut tampaknya terjadi pergeseran pimpinan dari generasi muda ke generasi tua. Banyak anggota muda yang menyingkir dari barisan depan dan anggota BU kebanyakan dari golongan priyayi dan pegawai negeri. Dengan demikian maka sifat "proto nasionalisme" dari para pemimpin yang tampak pada awal berdirinya BU, terdesak ke belakang. Strategi perjuangannya, BU pada dasarnya bersifat kooperatif.
Mulai tahun 1912, dengan tampilnya Notodirjo sebagai ketua menggantikan
R.T. Notokusumo, BU ingin mengejar ketinggalannya. Akan tetapi hasilnya
tidak begitu besar, karena pada saat itu telah muncul
organisasi-organisasi nasional lainnya seperti Sarekat Islam (SI), dan
Indiche Partij (IP). Namun demikian BU tetap mempunyai andil dan jasa
yang besar dalam sejarah Pergerakan Nasional yakni telah membuka jalan
dan memelopori gerakan kebangsaan Indonesia. Itulah sebabnya, maka pada
tanggal 20 Mei ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional yang kita
peringati setiap tahun hingga sekarang.
2. Sarekat Islam (SI)
Tiga tahun setelah berdirinya BU, yakni tahun 1911 berdirilah Sarekat Dagang Islam (SDI) di Solo oleh H. Samanhudi, seorang pedagang batik dari Laweyan Solo. Organisasi SDI berdasar pada dua hal, yakni :
a. Agama, yakni agama Islam.
b. Ekonomi, yakni untuk memperkuat diri dari pedagang Cina yang berperan sebagai leveransir (seperti kain putih, malam, dan sebagainya).
H. Samanhudi (sumber: Jakarta.go.id) |
Atas prakarsa H.O.S. Cokroaminoto, nama SDI kemudian diubah menjadi Sarekat Islam (SI), dengan tujuan untuk memperluas anggota dan tidak hanya terbatas pada pedagang saja. Berdasarkan Akte Notaris pada tanggal 10 September 1912 , ditetapkan tujuan SI sebagai berikut.
a. Memajukan perdagangan.
b. Membantu para anggotanya yang mengalami kesulitan dalam bidang usaha (permodalan).
c. Memajukan kepentingan rohani dan jasmani penduduk asli.
d. Memajukan kehidupan agama Islam.
H.O.S. Cokroaminoto |
Melihat tujuannya, SI tidak tampak adanya kegiatan politik. Akan tetapi
SI dengan gigih selalu memperjuangkan keadilan dan kebenaran terhadap
penindasan dan pemerasan oleh pemerintah kolonial. Dengan demikian, di
samping tujuan ekonomi juga ditekankan adanya saling membantu di antara
anggota. Itulah sebabnya dalam waktu singkat, SI berkembang menjadi
organisasi massa yang pertama di Indonesia. SI merupakan gerakan
nasionalis, demokratis, dan ekonomis serta berasaskan Islam dengan
haluan kooperatif.
Mengingat perkembangan SI yang begitu pesat, maka timbullah kekhawatiran dari pihak Gubernur Jenderal Indenberg, sehingga permohonan SI sebagai organisasi nasional yang berbadan hukum ditolak, dan hanya diperbolehkan berdiri secara lokal. Pada tahun 1914 telah berdiri 56 SI lokal yang diakui sebagai badan hukum.
Pada tahun 1915 berdirilah Sentral Sarekat Islam (SSI) yang berkedudukan di Surabaya. Tugasnya ialah membantu menuju kemajuan dan kerjasama antar SI lokal. Pada tanggal 17-24 Juni 1916 diadakan kongres SI nasional pertama di Bandung, yang dihadiri oleh 80 SI lokal dengan anggota 360.000 orang anggota. Dalam kongres tersebut telah disepakati istilah "nasional", dimaksudkan bahwa SI menghendaki persatuan dari seluruh lapisan masyarakat Indonesia menjadi satu bangsa.
Sifat SI yang demokratis dan berani serta berjuang terhadap kapitalisme untuk kepentingan rakyat kecil, sangat menarik perhatian kaum sosialis kiri yang tergabung dalam Indische Social Democratische Vereeniging (ISDV) pimpinan Sneevliet (Belanda), Semaun, Darsono, Tan Malaka, dan Alimin (Indonesia). Itulah sebabnya dalam perkembangannya SI pecah menjadi dua kelompok, yakni:
a. Kelompok nasionalis religius (nasionalis keagamaan) yang dikenal dengan SI Putih, dengan asas perjuangan Islam di bawah pimpinan H.O.S. Cokroaminoto.
b. Kelompok ekonomi dogmatis yang dikenal dengan nama SI Merah, dengan haluan sosialis kiri di bawah pimpinan Semaun, dan Darsono.
3. Indische Partij ( IP )
Indische Partij ( IP ) didirikan di Bandung pada tanggal 25 Desember
1912 oleh Tiga Serangkai, yakni Douwes Dekker (Setyabudi Danudirjo), dr.
Cipto Mangunkusumo, dan Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara).
Douwes Dekker (Setyabudi Danudirjo), dr. Cipto Mangunkusumo, dan Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) |
Organisasi ini mempunyai cita-cita untuk menyatukan semua golongan yang ada di Indonesia, baik golongan Indonesia asli maupun golongan Indo, Cina, Arab, dan sebagainya. Mereka akan dipadukan dalam kesatuan bangsa dengan semangat nasionalisme Indonesia.
Cita-cita IP banyak disebarluaskan melalui surat kabar De Expres. Di samping itu juga disusun program kerja sebagai berikut.
- Menyerapkan cita-cita nasional Hindia (Indonesia).
- Memberantas kesombongan sosial dalam pergaulan baik di bidang pemerintahan maupun kemasyarakatan.
- Memberantas usaha-usaha yang membangkitkan kebencian antara agama yang satu dengan yang lain.
- Memperbesar pengaruh pro-Hindia di lapangan pemerintahan.
- Berusaha untuk mendapatkan persamaan hak bagi semua orang Hindia.
- Dalam hal pengajaran, kegunaannya harus ditujukan untuk kepentingan ekonomi Hindia dan memperkuat mereka yang ekonominya lemah.
Melihat tujuan dan cara-cara mencapai tujuan seperti tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa IP berdiri di atas nasionalisme yang luas menuju Indonesia merdeka. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa IP merupakan partai politik pertama di Indonesia, dengan haluan kooperasi. Dalam waktu yang singkat telah mempunyai 30 cabang dengan anggota lebih kurang 7.000 orang, yang kebanyakan orang Indo.
Oleh karena sifatnya yang progresif, menyatakan diri sebagai partai politik dengan tujuan yang tegas yakni Indonesia merdeka; maka pemerintah kolonial menolak untuk memberikan badan hukum, dengan alasan IP bersifat politik dan hendak mengancam ketertiban umum. Namun demikian para pemimpin IP masih terus mengadakan propaganda untuk menyebarkan gagasangagasannya. Satu hal yang sangat menusuk perasaan pemerintah Hindia
Belanda adalah tulisan Suwardi Suryaningrat yang berjudul "Als ik een Nederlander was" (Seandainya Saya Seorang Belanda), yang isinya berupa sindiran terhadap ketidakadilan di daerah jajahan. Oleh karena kegiatannya sangat mencemaskan pemerintah Belanda, pada bulan Agustus 1913 ketiga pemimpin IP dijatuhi hukuman buang dan mereka memilih negeri Belanda sebagai tempat pembuangannya.
Dengan dibuangnya ketiga pemimpin IP, maka kegiatan IP makin menurun.
Selanjutnya IP berganti nama menjadi Partai Insulinde dan pada tahun
1919 berubah lagi menjadi National Indische Partij (NIP). NIP tidak
pernah mempunyai pengaruh yang besar di kalangan rakyat dan akhirnya
hanya merupakan perkumpulan orang-orang terpelajar.
4. Muhammadiyah
Muhammadiyah didirikan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan di Yogyakarta pada
tanggal 18 November 1912. Asas perjuangannya ialah Islam dan kebangsaan
Indonesia, sifatnya nonpolitik. Muhammadiyah bergerak di bidang
keagamaan, pendidikan dan sosial, menuju kepada tercapainya kebahagiaan
lahir batin. Tujuan Muhammadiyah adalah sebagai berikut.
a. Memajukan pendidikan dan pengajaran berdasarkan agama Islam.
b. Mengembangkan pengetahuan ilmu agama dan cara-cara hidup menurut agama Islam.
Untuk mencapai tujuan tersebut, usaha yang dilakukan oleh Muhammadiyah adalah sebagai berikut.
a. Mendirikan sekolah-sekolah yang berdasarkan agama Islam (dari TK sampai dengan Perguruan Tinggi).
b. Mendirikan poliklinik-poliklinik, rumah sakit, rumah yatim, masjid, dan sebagainya.
c. Menyelenggarakan kegiatan-kegiatan keagamaan.
Muhammadiyah berusaha untuk mengembalikan ajaran Islam sesuai dengan Alquran dan Hadis. Itulah sebabnya penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran agama Islam secara modern dan memperteguh keyakinan tentang agama Islam, sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenarnya. Kegiatan Muhammadiyah juga telah memerhatikan pendidikan wanita yang dinamakan Aisyiah, sedangkan untuk kepanduan disebut Hizbul Wathon (HW).
Sejak berdirinya di Yogyakarta (1912), Muhammadiyah terus mengalami perkembangan yang pesat. Sampai tahun 1913, Muhammadiyah telah memiliki 267 cabang yang tersebar di Pulau Jawa. Pada tahun 1935, Muhammadiyah sudah mempunyai 710 cabang yang tersebar di Pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi.
5. Gerakan Pemuda
Gerakan pemuda Indonesia, sebenarnya telah dimulai sejak berdirinya BU,
namun sejak kongresnya yang pertama perannya telah diambil oleh golongan
tua (kaum priyayi dan pegawai negeri).; sehingga para pemuda kecewa dan
keluar dari organisasi tersebut. Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada
tanggal 7 Maret 1915 di Jakarta berdiri Tri Koro Dharmo, oleh R.
Satiman Wiryosanjoyo, Kadarman, dan Sunardi. Tri Koro Dharmo yang
diketui oleh R. Satiman Wiryosanjoyo merupakan organisasi pemuda
pertama yang anggotanya terdiri atas para siswa sekolah menengah yang
berasal dari Jawa dan Madura. Tri Koro Dharmo artinya "tiga tujuan
mulia" yakni sakti, budi, dan bakti. Tujuan perkumpulan ini adalah
sebagai berikut.
- Mempererat tali persaudaraan antarsiswa-siswi bumi putra pada sekolah menengah dan perguruan kejuruan.
- Menambah pengetahuan umum bagi para anggotanya.
- Membangkitkan dan mempertajam peranan untuk segala bahasa dan budaya.
Tujuan tersebut di atas sebenarnya baru merupakan tujuan perantara, adapun tujuan yang sebenarnya adalah seperti apa yang termuat dalam majalah Tri Koro Dharmo yakni mencapai Jawa Raya dengan jalan memperkokoh rasa persatuan antara pemuda-pemuda Jawa, Sunda, Madura, Bali dan Lombok.
Oleh karena sifatnya yang masih "Jawa sentris", maka para pemuda di luar
Jawa (tidak berbudaya Jawa) kurang senang. Untuk menghindari
perpecahan, pada kongresnya di Solo pada tanggal 12 Juni 1918 namanya
diubah menjadi Jong Java (Pemuda Jawa). Sesuai dengan anggaran dasarnya,
Jong Java ini bertujuan untuk mendidik para anggotanya supaya kelak
dapat menyumbangkan tenaganya untuk membangun Jawa Raya dengan jalan
mempererat persatuan, menambah pengetahuan, dan rasa cinta pada budaya
sendiri.
Sejalan dengan munculnya Jong Java, pemuda-pemuda di daerah lain juga
membentuk organisasi-organisasi seperti: Jong Sumatra Bond, Pasundan,
Jong Minahasa, Jong Ambon, Jong Selebes, Jong Batak, Pemuda Kaum Betawi,
Sekar Rukun, Timorees Verbond dan lain-lain. Pada dasarnya semua
organisasi itu masih bersifat kedaerahan tetapi semuanya mempunyai
cita-cita ke arah kemajuan Indonesia, khususnya memajukan budaya dan
daerah masing-masing.
6. Taman Siswa
Sekembalinya dari tanah pembuangannya di negeri Belanda (1919), Suwardi Suryaningrat memfokuskan perjuangannya dalam bidang pendidikan. Pada tanggal 3 Juli 1922 Suwardi Suryaningrat (lebih dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara) berhasil mendirikan perguruan tinggi Taman Siswa di Yogyakarta.
Ki Hajar Dewantara |
Dengan berdirinya Taman Siswa, Suwardi Suryaningrat memulai gerakan baru
bukan lagi dalam bidang politik melainkan bidang pendidikan, yakni
mendidik angkatan muda dengan jiwa kebangsaan Indonesia berdasarkan akar
budaya bangsa.
Sekolah Taman Siswa dijadikan sarana untuk menyampaikan paham ideologi yaitu nasionalisme kebudayaan, perkembangan politik, dan juga digunakan untuk mendidik calon-calon pemimpin bangsa yang akan datang. Dalam hal ini, sekolah merupakan wahana untuk meningkatkan derajat bangsa melalui pengajaran itu sendiri. Selain pengajaran bahasa (baik bahasa asing maupun bahasa Indonesia), pendidikan Taman Siswa juga memberikan pelajaran sejarah, seni, sastra (terutama sastra Jawa dan wayang), agama, pendidikan jasmani, dan keterampilan (pekerjaan tangan) merupakan kegiatan utama perguruan Taman Siswa.
Pendidikan Taman Siswa dilakukan dengan sistem "Among" dengan pola belajar "asah, asih dan asuh". Dalam hal ini diwajibkan bagi para guru untuk bersikap dan berlaku "sebagai pemimpin" yakni di depan memberi contoh, di tengah dapat memberikan motivasi dan di belakang dapat memberikan pengawasan yang berpengaruh. Prinsip pengajaran inilah yang kemudian dikenal dengan pola kepemimpinan: "Ing ngarsa sung tulodho, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani". Pola kepemimpinan ini sampai sekarang masih menjadi ciri kepemimpinan nasional.
Berkat jasa dan perjuangannya yakni mencerdaskan kehidupan menuju Indonesia merdeka, maka tanggal 2 Mei (hari kelahiran Ki Hajar Dewantara) diangkat sebagai Hari Pendidikan Nasional. Di samping itu "Tut Wuri Handayani" sebagai semboyan terpatri dalam lambang Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
7. Partai Komunis Indonesia (PKI)
Benih-benih paham Marxisme dibawa masuk ke Indonesia oleh orang Belanda yang bernama B.J.F.M. Sneevliet. Atas dasar paham Marxisme inilah kemudian pada tanggal 9 Mei 1914 di Semarang, Sneevliet bersama-sama dengan J.A. Brandsteder, H.W. Dekker, dan P. Bersgma berhasil mendirikan Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV). Ternyata ISDV tidak dapat berkembang, maka Sneevliet melakukan infiltrasi (penyusupan) kader-kadernya ke dalam tubuh SI dengan menjadikan anggota-anggota ISDV sebagai anggota SI, dan sebaliknya anggota-anggota SI menjadi anggota ISDV.
Dengan cara ini Sneevliet dan kawan-kawannya telah mempunyai pengaruh yang kuat di kalangan SI, lebih-lebih setelah berhasil mengambil alih beberapa pemimpin SI seperti Semaun dan Darsono. Mereka inilah yang dididik secara khusus untuk menjadi tokoh-tokoh Marxisme tulen. Akibatnya SI cabang semarang yang sudah berada di bawah pengaruh ISDV, makin jelas warna Marxisnya, dan selanjutnya terjadilah perpecahan dalam tubuh SI.
Pada tanggal 23 Mei 1923 ISDV diubah menjadi Partai Komunis Hindia dan selanjutnya pada bulan Desember 1920 menjadi Partai Komunis Indonesia; dengan susunan pengurus sebagai berikut: Semaun (Ketua), Darsono (Wakil Ketua), Bersgma (Sekretaris) dan Dekker (Bendahara).
PKI makin aktif dalam percaturan politik, dan untuk menarik massa dalam propaganda PKI menghalalkan segala cara, dan tidak segan-segan untuk menggunakan kepercayaan rakyat kepada ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadis bahkan juga ramalan Jayabaya dan Ratu Adil. Kemajuan yang diperolehnya ternyata membuat PKI lupa diri, sehingga merencanakan suatu petualangan politik. Pada tanggal 13 November 1926 PKI melancarkan pemberontakan di Jakarta dan disusul di daerah-daerah lain seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Di Sumatra Barat pemberontakan PKI dilancarkan pada tanggal 1 Januari 1927. Dalam waktu yang singkat semua pemberontakan PKI tersebut berhasil ditumpas. Akhirnya ribuan rakyat ditangkap, dipenjara dan dibuang ke Tanah Merah, Digul Atas, dan Irian Jaya.
8. Partai Nasional Indonesia (PNI)
Algemene Studie Club di Bandung yang didirikan oleh Ir. Soekarno pada tahun 1925 telah mendorong para pemimpin lainnya untuk mendirikan partai politik yakni Partai Nasional Indonesia ( PNI). PNI didirikan di Bandung pada tanggal 4 Juli 1927 oleh 8 pemimpin, yakni dr. Cipto Mangunkusumo, Ir.Anwari, Mr. Sartono, Mr. Iskak, Mr. Sunaryo, Mr. Budiarto, Dr. Samsi, dan Ir. Soekarno sebagai ketuanya. Kebanyakan dari mereka adalah bekas anggota Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda yang baru kembali ke tanah air.
Keradikalan PNI telah tampak sejak awal berdirinya. Hal ini terlihat
dari anggaran dasarnya, bahwa tujuan PNI adalah Indonesia merdeka,
dengan strategi perjuangannya nonkooperasi. Untuk mencapai tujuan
tersebut, maka PNI berasaskan pada: (a) self help, yakni prinsip menolong diri sendiri, prinsip
"percaya pada diri sendiri"; artinya memperbaiki keadaan politik, ekonomi, dan sosial budaya yang telah rusak oleh penjajah, dengan kekuatan sendiri; (b) nonkooperatif, yakni tidak mengadakan kerja sama dengan pemerintah Belanda, dan (c) marhaenisme, yakni mengentaskan massa dari kemiskinan dan kesengsaraan.
"percaya pada diri sendiri"; artinya memperbaiki keadaan politik, ekonomi, dan sosial budaya yang telah rusak oleh penjajah, dengan kekuatan sendiri; (b) nonkooperatif, yakni tidak mengadakan kerja sama dengan pemerintah Belanda, dan (c) marhaenisme, yakni mengentaskan massa dari kemiskinan dan kesengsaraan.
Untuk mencapai tujuan tersebut, PNI telah menetapkan program kerja sebagaimana dijelaskan dalam kongresnya yang pertama di Surabaya tahun 1928, yakni sebagai berikut.
- Usaha Politik, yakni memperkuat rasa kebangsaan (nasionalisme) dan kesadaran atas persatuan bangsa Indonesia, memajukan pengetahuan sejarah kebangsaan, mempererat kerja sama dengan bangsa-bangsa Asia, dan menumpas segala rintangan bagi kemerdekaan diri dan kehidupan politik.
- Usaha Ekonomi, yakni memajukan perdagangan pribumi, kerajinan, mendirikan bank-bank dan koperasi.
- Usaha Sosial, yaitu memajukan pengajaran yang bersifat nasional, meningkatkan derajat kaum wanita, memerangi pengangguran, memajukan transmigrasi, memajukan kesehatan rakyat antara lain dengan mendirikan poliklinik .
Untuk menyebarluaskan gagasannya, PNI melakukan propaganda-propaganda
baik lewat surat kabar seperti Banteng Priangan di Bandung dan Persatuan
Indonesia di Jakarta, maupun lewat para pemimpin khususnya Ir. Soekarno
sendiri. Dalam waktu singkat, PNI telah berkembang dengan pesatnya
sehingga menimbulkan kekhawatiran di pihak pemerintah Belanda.
Pemerintah kemudian memberikan peringatan kepada pemimpin PNI agar
menahan diri dalam ucapannya, propagandanya, dan tindakannya.
Dengan munculnya isu bahwa PNI pada awal tahun 1930 akan mengadakan pemberontakan maka pada tanggal 29 Desember 1929, Pemerintah Hindia Belanda mengadakan penggeledahan secara besar-besaran dan menangkap empat pemimpin PNI, yaitu Ir. Soekarno, Maskun, Gatot Mangunprojo, dan Supriadinata. Mereka kemudian diajukan ke pengadilan di Bandung. Dalam pengadilan Ir. Soekarno mengadakan pembelaan yang termuat dalam judul "Indonesia Menggugat". Atas dasar tindakan melanggar pasal "karet" 153 bis dan pasal 169 KUHP, mereka dianggap mengganggu ketertiban umum dan menentang kekuasaan Belanda, akhirnya mereka dijatuhi hukuman penjara dan dipenjarakan di Penjara Sukamiskin Bandung.
Bung Karno dan kawan-kawan di depan gedung pengadilan Bandung |
Sementara itu pimpinan PNI dipegang oleh Mr. Sartono, dan dengan
pertimbangan demi keselamatan; maka pada tahun 1931 oleh pengurus
besarnya PNI dibubarkan. Hal ini menimbulkan pro dan kontra. Mereka yang
pro pembubaran, mendirikan partai baru dengan nama Partai Indonesia
(Partindo) di bawah pimpinan Mr. Sartono. Kelompok yang kontra, ingin
tetap melestarikan nama PNI, namun bukan lagi Partai Nasional Indonesia
melainkan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Baru) di bawah pimpinan
Drs. Moh. Hatta dan Sutan Syahrir.
9. Gerakan Wanita
Munculnya gerakan wanita dirintis oleh R.A. Kartini yang kemudian dikenal sebagai pelopor pergerakan wanita Indonesia. R.A. Kartini bercita-cita untuk mengangkat derajat kaum wanita Indonesia melalui pendidikan. Cita-citanya tersebut tertulis dalam surat-suratnya yang kemudian berhasil dihimpun dalam sebuah buku yang berjudul "Habis Gelap Terbitlah Terang". Cita-cita R.A. Kartini ini diteruskan oleh Dewi Sartika.
Semasa Pergerakan Nasional, maka muncul gerakan wanita yang bergerak di bidang pendidikan dan sosial budaya. Organisasi-organisasi yang ada antara lain:
- Putri Mardika di Jakarta (1912) dengan tujuan membantu keuangan bagi wanita-wanita yang akan melanjutkan sekolahnya. Tokohnya antara lain: R.A. Saburudin, R.K. Rukmini, dan R.A. Sutinah Joyopranata.
- Kartini Founds, yang didirikan oleh Ny. T.Ch. Van Deventer (1912) dengan tujaun mendirikan "Sekolah-sekolah Kartini" bagi kaum wanita, seperti di Semarang, Jakarta, Malang, dan Madiun.
- Kerajian Amai Setia, di Gedang Sumatra Barat oleh Rohana Kudus (1914). Tujuannya meningkatkan derajat kaum wanita dengan cara memberi pelajaran membaca, menulis, berhitung, mengatur rumah tangga, membuat kerajinan dan cara pemasarannya.
- Aisyiah, merupakan organisasi wanita Muhammadiyah didirikan oleh Ny. Hj. Siti Walidah Ahmad Dahlan (1917). Tujuannya untuk memajukan pendidikan dan keagamaan kaum wanita.
- Organisasi Kewanitaan lain yang berdiri cukup banyak, antara lain: Pawiyatan Wanito di Magelang (1915), Wanito Susilo di Pemalang ( 1918), Wanito Rukun Santoso di Malang, Budi Wanito di Solo, Putri Budi Sejati di Surabaya ( 1919), Wanito Mulyo di Yogyakarta (1920), Wanito Utomo dan Wanito Katolik di Yogyakarta (1921) dan Wanito Taman Siswa ( 1922).
Organisasi wanita juga muncul di Sulawesi Selatan dengan nama Gorontalosche Mohammadaanche Vrouwenvereeniging. Di Ambon di kenal dengan nama Ina Tani, yang condong ke politik.
Sejalan dengan berdirinya organisasi wanita, muncul juga surat kabar wanita yang bertujuan untuk menyebarluaskan pengetahuan kewanitaan. Surat kabar organisasi wanita antara lain Putri Hindia di Bandung, Wanito Sworo di Brebes, Sunting Melayu di Bukittinggi, Esteri Utomo di Semarang, Suara Perempuan di Padang, Perempunan Bergolak di Medan dan Putri Mardika di Jakarta.
Puncak gerakan wanita yaitu dengan diselenggarakannya Kongres Perempuan Indonesia I tanggal 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta, yang menghasilkan bentuk perhimpunan wanita berskala nasional dan berwawasan kebangsaan yakni Perikatan Perempuan Indonesia ( PPI ). Dalam Kongres Wanita II di Jakarta pada tanggal 28-31 Desember 1929 PPI diubah menjadi Perikatan Perhimpunan Isteri Indonesia ( PPII). Kongres Wanita I merupakan awal dari bangkitnya kesadaran nasional di kalangan wanita Indonesia, maka tanggal 22 Desember ditetapkan sebagai "Hari Ibu".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar